Kyai Mahfudz Salam, Kesatria Sejati dari Kajen

Opini231 Dilihat

Oleh: Akhmad Khazim

Melihat tulisan Bu Nyai Tutik N. Jannah dalam buku: Epistemologi Fikih Sosial; Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat, ketika membahas peran aktif Kyai Mahfudz Salam (Ayahanda Kyai Sahal Mahfudz), dapat disimpulkan bahwa: Setiap peran yang dilakukan oleh Kyai Mahfudz, syarat akan fikih, Kaidah Fikih, Kaidah Usul Fikih serta Maqashid.

Kyai Mahfud Salam memiliki komunikasi yang baik dengan pemerintah Belanda, pada saat itu (Lihat: Epistemologi Fikih Sosial; Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat, halaman 96). Hal itu dilakukan bukan tanpa sebab. Beliau, Kyai Mahfudz Salam, mengerti betul kaidah fikih berupa: Jika dua hal yang bertentangan, kemaslahatan dan ke-madharatan, maka lebih didahulukan menolak ke-madharatan. Kemaslahatan disini adalah menyebarkan dan mengajarkan nilai-nilai Islam kepada para santri. Adapun ke-madharatan yang hadapi adalah kecurigaan orang-orang Belanda, penjajah, terhadap kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh Kyai Mahfudz Salam beserta para santrinya. Kecurigaan ini akan menjadikan lembaga yang digawangi oleh Kyai Mahfudz di-satroni oleh Belanda. Maka, dalam hal ini Kyai Mahfudz Salam lebih memilih jalan komunikasi intensif dengan Belanda. Disini saya pribadi menganggap itu sebagai bentuk “dar’u al-mafasid”, sehingga dengan melakukan tindakan tersebut akan menyelamatkan kemaslahatan yaitu tidak adanya kecurigaan Belanda pada syiar yang dilakukan oleh Kyai Mahfudz Salam.

Lemahnya pemerintah Hindia Belanda dan runyamnya kondisi keamanan yang berdampak pada perekonomian menumbuhkan rasa prihatin Kyai Mahfudz Salam. Hingga akhirnya beliau memerintahkan para santrinya untuk menjaga tempat pegadaian –yang notabenenya milik perintah Hindia Belanda. Ini beliau lakukan untuk menyelamatkan aset rakyat kecil yang kebetulan banyak digadaikan ditempat tersebut (lihat: Epistemologi Fikih Sosial; Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat, halaman 96). Ini sanget sejalan dengan kaidah di atas, sekaligus sejalan dengan Maqashid asy-Syariah, Hifdzu al-mal.

Setelah semakin runyam keadaan pemerintahan saat itu, Kyai Mahfudz memerintahkan para santrinya untuk membagi-bagikan barang yang digadaikan kepada pemilik aslinya. Pembagian tersebut dengan cara menunjukan tanda bukti kepemilikan sebagaimana dibutuhkan. Langkah inilah yang kemudian memantik api permusuhan antara Belanda terhadap Kyai Mahfudz. Hingga puncak permusuhan serta perlawanan Kyai Mahfudz sampai pada taraf penyerangan Rumah Sakit Kristen di Pakis-Tayu. Rumah sakit itu merupakan lambang supermasi pemerintah kolonial Belanda (Lihat: Epistemologi Fikih Sosial; Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat, halaman 97).

Dari cerita di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan akan berbeda sesuai keadaan yang melatarbelakanginya. Kyai Mahfudz sebagai seorang Kyai, saya yakin betul, beliau melandaskan tindakannya antara lain pada kaidah Usuliah serta fikhiyah, “Al-Hukmu yaduru ma’a illatihi, wujudan wa ‘adaman” (Hukum itu berputar sesuai illat-nya, dalam ada dan tidak adanya hukum).

Penjelasannya sebagai berikut: Awal tindakan Kyai Mahfudz Salam yang memilih untuk berteman, membangun komunikasi dengan Belanda atas dasar melindungi dari intimidasi rakyat kecil oleh Belanda. Selain itu komunikasi tersebut juga memungkinkan Kyai Mahfudz untuk menyebarkan agama Islam tanpa di-satroni. Dengan berubahnya kondisi yang ada, Kyai Mahfudz memutar balik sikap. Beliau memilih bermusuhan dengan Belanda pun untuk melindungi harta rakyat kecil. Hanya saja yang membedakan adalah keadaan, yang menjadikan pengambilan sikap tersebut sesuai dengan tuntutan syariat.

Setelah berjuang dan sempat menjadi buronan pemerintah Belanda, Kyai Mahfudz Salam ditangkap oleh pemerintah Belanda hingga kedatangan Jepang. Kyai Mahfudz wafat di Ambarawa sekitar tahun 1944 (Lihat: catatan kaki buku Epistemologi Fikih Sosial; Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat, halaman 97).

Subuh Cairo, 11 Agustus 2021