Kenapa Umat Islam Tertinggal oleh Barat dalam Hal Teknologi?

Opini144 Dilihat

Oleh: Akhmad Khazim

Seorang temen lama, temen waktu Tsanawiyah dulu –yang sekarang mungkin sedang ambil program doktoral di bidang filsafat– bilang (tanya): “Kenapa Islam terbelakang dalam hal teknologi”. Pertanyaannya itu terlontar sekitar dua tahun yang lalu. Aku pun belum mampu menjawab.

Selang beberapa waktu setelah ia bertanya, KH. Musthafa Bisri (Gus Mus) membahas masalah ini. Beliau hanya mengatakan: “Kita (muslimin) dan Barat (non-muslim), dalam hal ini, memang beda arah”. Ketika itu, tetap saja, aku tidak paham apa yang dimaksud oleh Gus Mus. Jawabannya simpel dan terasa kurang ngena, bagiku. Hingga akhirnya itu sedikit terjawab ketika membaca karya Prof. Dr. Ali Gomaa. Dalam bukunya, beliau memaparkan seputar paradigma Islam. Entah kenapa kemudian pikiran membawa flash back pada pertanyaan di atas. Pertanyaannya yang telah tertimbun oleh banyak hal-hal lain.

Menurut Prof. Ali –ini juga kerap diutarakan oleh beberapa ulama— bahwa tujuan manusia diciptakan adalah dua hal. Pertama adalah untuk beribadah kepada Tuhan (QS. Adz-Dzariyat: 56). Kedua adalah memakmurkan dunia (tersirat dalam QS. Al-Baqarah: 30). Oleh karena dua tujuan ini, Tuhan menurunkan syariat Islam. Hal yang paling banyak bersinggungan langsung dengan seorang mukalaf (alim ataupun awam) adalah terkait perintah dan larangan. Dua hal ini erat kaitannya dengan wahyu dan realitas –keduanya adalah sumber paradigma Islam.

Dalam mengamalkan perintah serta larangan yang berlandaskan realitas, Islam hanya menuntut pada realitas yang bisa ditangkap oleh indra (wâqi’). Syariat tidak menuntut lebih dari itu. Islam tidak menuntut untuk kita melakukan hal-hal yang di luar indra kita (nafsu al-amr), seperti misal penelitian tentang apa yang ada dalam kandungan air, sekalipun air berkenaan langsung dengan perintah atau larangan, dalam hal ini adalah thaharah. Islam tidak meminta untuk meneliti sedalam mungkin, sebagai mana yang dilakukan oleh saintis. Hal tersebut dikarenakan, menurut Prof. Ali, penemuan yang ada bersifat temporal. Bisa saja penemuan yang ada sekarang dibatalkan oleh penemuan selanjutnya (Lihat: Prof. Dr. Ali Gomaa Muhammad, At-Tharîq ilâ at-Turâst al-Islâmi; Muqaddimât Ma’rifiyyah wa Madâhil Manhajiyyah, Dar an-Nahdah Misr, hlm 28).

Satu hal yang perlu dicatat: Islam tidak menafikan penemuan-penemuan empiris oleh para saintis. Terlebih dalam urusan-urusan yang murni duniawi. Hal itu sejalan dengan apa yang disabdakan oleh Nabi: “Kalian lebih tau terhadap urusan-urusan dunia kalian”.

Hal ini cukup senada dengan apa yang diutarakan oleh Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi. Dalam bukunya, beliau menggaris bawahi tentang tugas dan kewajiban. Tugas inilah yang akhirnya menjadikan arah yang berbeda. Menurutnya, kemajuan bidang teknologi, bagi seorang muslim atau non-muslim, memiliki peluang yang sama. Bagi seorang muslim, sangat mungkin untuk mencapai apa yang dicapai oleh saintis Barat, misalnya.

Saintis Barat terus melakukan penelitian terhadap hal-hal yang sangat mendetail, baik itu hal yang sangat kecil ataupun sebaliknya. Mereka, dalam melakukan hal ini, tidak melihat ke belakang terkait tugasnya sebagai seorang hamba. Mereka tidak mempertanyakan, misalnya: “Setelah penemuan sejauh ini, lantas kita ini siapa? Apa tugas kita di hadapan ciptaan yang sedemikian maha dahsyat?”.

Beda halnya dengan seorang muslim. Setelah menemukan kenyataan yang sedemikian dahsyat, ia akan kembali. Mereka kembali mempertanyakan tugasnya sebagai manusia. Apakah mungkin, setelah mengetahui tugas masing-masing ciptaan Tuhan –berlandaskan hasil penelitian yang telah terpublikasi— yang luar biasa dengan segala tugasnya masing-masing, kemudian manusia menjadi satu-satunya ciptaan tanpa tugas? Jawabannya jelas “Tidak”. Mana mungkin manusia, dengan segala keistimewaannya, melebihi semua mahluk yang ada di alam raya ini, diciptakan tanpa tugas. Seharusnya malah sebaliknya. Karena keistimewaan berbanding lurus dengan tanggung jawab.

Atas dasar hal di atas, pada akhirnya seorang muslim akan kembali pada “apa tugas ciptaan terhadap Penciptanya?”. Tugas ini tidak lain adalah memposisikan diri sebagai mana yang diinginkan oleh Pencipta. Menjalani kehidupan sesuai dengan jalan yang telah ditunjukkan dalam Qur’an dan Sunnah. Oleh karenanya, seorang muslim tidak akan melakukan penelitian hingga menghabiskan jutaan dolar, sedangkan di sisi lain, masih banyak umat manusia yang tengah kelaparan (Lihat: Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Min al-Fikr wa al-Qalb; Fushûl min al-Naqd fi al-Ulûm wa al-Ijtimâ’ wa al-Adâb, Dar al-Fikr, hlm 24-27).

Pemaparan di atas, menurut ku, menjadi penjelasan apa yang disampaikan oleh Gus Mus. Arah kita dengan mereka memang berbeda. Orientasi kita bersumber pada wahyu dan realitas. Dimana realitas ini (yang diminta) hanya sampai batas tertentu. Sedangkan apa yang dilakukan oleh mereka, mungkin beberapa tidak memiliki dampak pada sesuatu yang menjadi tujuan kita. Di samping itu, kita mempertanyakan hal yang tidak ditanyakan oleh mereka. Hingga akhirnya kita akan kembali pada tugas utama kita sebagai manusia.