JAKARTA, TALIGAMA NEWS – Sejumlah pegiat antikorupsi menilai tidak wajar soal usulan restorative justice terhadap koruptor. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman berkata konsep restorative justice tidak akan bisa dipakai untuk kasus korupsi.
Zaenur menyebutkan ada beberapa alasan restorative justice tidak bisa dipakai untuk kasus korupsi. Pertama, restoratve justice menyelesaikan masalah hukum melalui jalan damai antara pelaku dan korban. Sehingga, kata Zaenur, restorative justice tidak akan dapat diterapkan pada kasus korupsi.
“Kasus korupsi ini kan korbannya adalah masyarakat Indonesia. sementara tidak mungkin meminta kesepakatan damai kepada masyarakat Indonesia satu persatu,” kata dia pada Selasa 1 November 2022.
Alasan selanjutnya adalah usulan keadilan restoratif ditakutkan akan menghilangkan efek jera bagi para pelaku korupsi. Sebab, Zaenur menyebut, ketiadaan pidana malah membuat penjahat berkerah putih tersebut menyepelekan ancaman bagi prilaku korup.
Ini justru akan menjadi angin segar bagi koruptor untuk mengeksploitasi pengampunan terhadap kejahatan mereka,” ujarnya.
Selain itu, Zaenur juga menyebut usulan tersebut menyalahi undang-undang. Sebab, kata dia, berdasarkan Undang-Undang Tipikor Pasal 4 menyebut pengembalian kerugian negara tidak menghilangkan sanksi pidana.
“Jadi usulan restorative justice untuk tipikor itu tidak masuk akal untuk dilakukan,” kata dia.
Sejalan dengan Zaenur, peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, juga menyebut tidak logis perilaku korupsi dapat diselesaikan dengan restorative justice. Sebab, korupsi yang merupakan kejahatan yang luar biasa tersebut dapat menimbulkan masalah baru bagi penegakan hukum di Indonesia.
“Yang dikhawatirkan dari restorative justice ini adalah kejahatan akan meluas. Lagipula restorative justice adalah upaya hukum dengan memfokuskan pada hak-hak korban,” kata dia.
Koordinator Indonesia Corruption Watch, Agus Sunaryanto, juga mengatakan restorative justice bagi para koruptor akan memotivasi para penjahat untuk menggondol uang negara. Karena, kata dia, perilaku korupsi hanya diharuskan untuk mengembalikan kerugian negara dan meminta maaf saja.
“Jadi rasanya kurang tepat untuk dipraktikan dalam kejahatan korupsi,” ujar dia.
Wacana terkait restorative justice untuk para maling kas negara bermula dari gagasan Wakil Ketua KPK yang baru dilantik, Johanis Tanak. Gagasan tersebut disampaikannya saat uji kelayakan dihadapan para anggota DPR RI. Ia menyebut bahwa gagasan tersebut hanya usulan yang perlu dikaji lebih mendalam.
“Itu kan cuma opini, bukan aturan, tetapi pandangan sebagai akademisi tentunya bisa saja, tetapi bagaimana realisasinya tentunya nanti lihat aturan,” kata Johanis Tanak di Istana Kepresidenan, Jakarta pada 28 Oktober 2022.(Red)