JAS MERAH Tentang PSHT Yang Mendunia.

MADIUN, TALIGAMA NEWS – Pakaiannya hitam-hitam, jumlah massanya banyak, dan sering membuat onar. Mungkin kesan tersebut yang sering muncul di benak orang awam ketika mendengar kata PSHT. Sebuah perguruan silat asal Madiun yang memang kerap sekali mengisi kolom berita negatif seperti perkelahian, tawuran dengan perguruan silat lain, dan juga konvoinya yang sering mengganggu pengguna jalan. Bahkan di Timor Leste, PSHT –bersama beberapa perguruan silat yang lain- dinyatakan terlarang oleh pemerintah setempat karena tak terhitung jumlah korban jiwa yang disebabkan oleh bentrokan antar perguruan silat.

Lalu, apa sih sebenarnya PSHT? Dengan reputasi buruk seperti itu tapi kok anggotanya terus bertambah. Bahkan sampai jutaan anggota, di PSHT dikenal istilah “warga”, yang tersebar di seluruh Indonesia dan luar negeri. PSHT atau Persaudaraan Setia Hati Terate merupakan salah satu organisasi perguruan silat beraliran SH (Setia Hati) yang berpusat di Padepokan Agung, Jl. Merak Kota Madiun. Aliran SH pertama kali diciptakan oleh Eyang Surodiwiryo yang mana sejak muda telah berkelana mempelajari pencak silat berbagai aliran dari berbagai daerah di tanah air. Aliran-aliran tersebut antara lain Silat Cimande, Silat Betawi, Silek Minang, Silat Batak, dan beberapa aliran lain kemudian merangkumnya dalam gerakan silat yang bernama Joyo Gendilo Cipto Mulyo pada tahun 1903 di desa Winongo, Madiun yang di kemudian hari dirubah namanya menjadi Setia Hati.

Eyang Surodiwiryo sendiri di kemudian hari memiliki murid kesayangan bernama Eyang Hardjo Oetomo dan memberinya izin untuk melatih pencak silat sendiri di kediamannya di Desa Pilangbango, Madiun dengan nama Pemuda Sport Clup (PSC) pada tahun 1922. Perkembangan PSC ini mengalami pasang surut karena saat itu Eyang Hardjo Oetomo harus berlawanan dengan pemerintah Belanda karena kegiatan pemberontakannya. Bahkan Eyang Hardjo pernah ditahan di Penjara Cipinang karena kasus penghadangan kereta milik penjajah. Singkat cerita, PSC kemudian bertransformasi menjadi Persaudaraan Setia Hati Terate pada 25 Maret 1951 dengan tokoh utamanya waktu itu Soetomo Mangkuwijoyo, yang merupakan murid langsung Eyang Hardjo Oetomo.

Beberapa tokoh yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan PSHT antara lain :

  • Eyang Hardjo Oetomo (Murid langsung Eyang Suro dan pendiri PSC, dimakamkan di desa Pilangbango, Madiun)
  • Eyang Soetomo mangkuwijoyo (pemimpin rapat pertama pembentukan organisasi PSHT, dimakamkan di kuburan Cangkring, Madiun)
  • Eyang Harsono (Putra Eyang Hardjo Oetomo)
  • Eyang Irsyad (Pencipta 90 senam dasar, dimakamkan di Bandung)
    Mas Imam Kusupangat (Yang membesarkan nama PSHT di madiun dan sekitarnya pada era 80an, dimakamkan di kuburan Taman, Madiun)
  • Eyang Badini (Yang menyempurnakan lambang PSHT, dimakamkan di Ds Ringin agung, Magetan)
  • Eyang Gunawan Pamudji, Ponorogo (Menantu Eyang Hardjo)
    Mbah Kuswanto (Melestarikan Jurus lama PSHT sebelum dirubah di Mubes, dimakamkan di jl. Merpati, Madiun)
  • Mbah Ling / Mufadhol (Murid Mbah Kuswanto yang mendirikan PSHT di Magetan dan sekitarnya, dimakamkan di komplek Pesantren Sabilil Mutaqin/PSM, Takeran)
  • Mas Tarmadji Budi Harsono (Ketua Umum yang masa jabatannya paling lama, dimakamkan di samping padepokan Agung).
    Dan masih banyak lagi pendahulu dan sesepuh PSHT yang namanya harum di masyarakat sekitarnya. Mereka menjadi contoh dan seringkali menjadi tokoh penting atau pemimpin di lingkungannya. Hal tersebut membuktikan bahwa citra jelek yang melekat di PSHT disebabkan hanya karena ulah oknum warga PSHT yang tidak mengerti dalamnya ajaran serta filosofi Setia Hati. Yang mana di dalam PSHT diajarkan filosofi Memayu hayuning bawono, yaitu menjaga keindahan dan kedamaian hidup di bumi. Jadi penting sekali bagi warga PSHT untuk ikut aktif menjaga ketenteraman lingkungan dimana dia berada. Atau jika belum mampu, minimal jangan membuat kerusakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Selain itu, kata “Persaudaraan” juga harus dimaknai secara proporsional, tidak membabi buta. Yang saat ini sering terjadi adalah ketika ada sesama warga yang memiliki masalah dengan orang, maka warga yang lain serta merta membantu mengeroyok orang tersebut tanpa tahu duduk perkaranya. Hal tersebut tentu saja melanggar etika seorang pendekar dan menyalahi salah satu prinsip PSHT yaitu berani karena benar takut karena salah. Seharusnya persaudaraan dimaknai sebagai ikatan batin melebihi saudara kandung, dimana setiap warga harus merasa saling memiliki serta saling asah, asih asuh antar sesama. Membantu jika ada warga yang kesusahan serta menasehati jika ada saudaranya yang lain yang berbuat salah.

Sejak disyahkan pada tahun 2020, saya sudah banyak bertemu dengan sesepuh-sesepuh PSHT tingkat 2 dan pelatih saya juga tingkat 2. Dari beliau-beliau saya banyak belajar tentang kesederhanaan, kasih sayang kepada junior-juniornya, dan kebijaksanaan dalam menjalani hidup. Tidak satupun sesepuh yang saya temui tersebut yang hidupnya suka berbuat onar ataupun dibenci oleh masyarakat sekitarnya. Jadi sudah seharusnya warga-warga muda PSHT meneladani sikap hidup sesepuh kita yang andap asor, ora seneng gawe susahe liyan, serta tidak adigang adigung adiguno. Karena sesungguhnya aneh jika kita bersikap sombong dan ugal-ugalan. Padahal sejak dikecer menjadi warga PSHT, sabuk mori (kain kafan) selalu membelit perut kita, tak pernah berhenti mengingatkan datangnya kematian. (Team)